Baihaqi Achmad Panggil saya Haqi. Saya tertarik sekali dengan apapun yang berhubungan dengan seni dan film. Memiliki jutaan mimpi yang diusahakan sekali untuk dicapai. Memiliki tumpukan masalah yang sebisa mungkin diselesaikan. Memiliki beberapa potensi yang diusahakan untuk dikembangkan. Sangat ingin berkeliling Indonesia, menjadi penulis, menjadi wartawan dan membangun bisnis toko buku dan kafe
arsip Juli 2007 Agustus 2007 September 2007 Oktober 2007 November 2007 Desember 2007 Januari 2008 Februari 2008 Maret 2008 April 2008 Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 para tetangga Teman Sekolah Akbar Badriansyah|| Amalia Hapsari|| Amalia Sekarjati|| Febian Nurrahman|| Hendry Ma'ruf|| Keishkara Hanandhita|| Mayang Arum Anjar Rizky|| Novia Rozet|| Sari Rachmani|| Surioktya Zuarni Meisyka|| Valeska Liviani|| Yusrina Sabila Penulis Adhitya Mulya|| Alanda Kariza|| Dewi Lestari|| Fira Basuki|| Jenny Jusuf|| Ninit Yunita|| Nova Riyanti Yusuf|| Okke|| Prima Rusdi|| Raditya Dika|| Sitta Karina Selebritis Anizabella|| Christian Sugiono|| Dian Sastrowardoyo|| Eva Celia Lesmana|| Wulan Guritno Teman Blogger Agas|| Alia|| Alvin|| Arimbi|| Aulia|| Avo|| Chenel|| Citra|| Dara|| Deedee|| Dwikjohn|| Echa|| Jane|| Julham|| Kanira|| Kanya|| Kiky|| Lalla|| Lalita|| Meiggy|| Mini|| Mudjiran|| Nadine|| Nanien|| Refika|| Sheyka|| Siska|| Suci|| Synna|| Tarra|| Vito Yang Lainnya Kineforum|| Macabre|| Ragazzonline|| credits skin by: Jane |
Selasa, 26 Agustus 2008 @ 11.18
lanjutan draft hei terimakasih bagi kalian yang sudah baca draft kemarin dan memberikan komentar serta dukungannya. ini 2 bab terakhir yang saya posting di sini, selebihnya akan saya simpan sendiri dan berusaha selesaikan baru kemudian saya kirim ke penerbit. makasih dukungannya, mohon doanya supaya naskah ini bisa selesai dan diterbitkan, amien :) ps : jangan lupa komentar lagi yaaa Empat “Kak Cacha bantuin aku bikin PR dooong” Jam delapan malam lewat dua puluh menit, Cacha sedang bersantai di kamarnya yang sempit, membaca kumpulan cerpen Filosofi Kopi, ketika Adit masuk ke kamarnya sambil membawa buku tulis dan sebatang pensil. Cacha menutup bukunya. “PR apa? Kok jam segini baru dikerjain? Dari tadi kamu ngapain aja?” Adit duduk di sebelah Cacha. “Tadi aku ngerjain PR Matematika, banyak banget, jadinya PR Bahasa Indonesia belom sempat dikerjain.” “Ada PR apa? Bikin kalimat S-P-O-K kayak kemarin lagi?” “Bukan. Sekarang tugasnya disuruh mengarang, buat cerita tentang cita-cita.” Adit membuka buku PR-nya yang masih kosong, malas-malasan. “Kakak kan tau aku gak pernah suka pelajaran Bahasa Indonesia, aku juga gak bisa mengarang.” Cacha tersenyum seraya mengacak-acak rambut Adit penuh perhatian. “Gak boleh gitu ah Dit. Aku tau Adit pinter Matematika, tapi kamu gak boleh gak suka sama pelajaran lain, apalagi Bahasa Indonesia.” “Emangnya kenapa Kak? Bahasa Indonesia kan gak penting.” “Kata siapa gak penting? Justru sebagai orang Indonesia kita harus belajar Bahasa Indonesia dengan baik. Siapa lagi yang mau belajar Bahasa Indonesia kalo bukan orang Indonesia kayak kita?” Adit garuk-garuk kepala, penjelasan Cacha terdengar seperti omongan Ibu Guru di depan kelas. “Iya deh iya. Udah ayo bantuin aku, entar aku keburu ngantuk.” “Oke. Sekarang kamu fikirin dulu, cita-cita kamu apa? Trus baru dikembangkan kenapa kamu punya cita-cita itu dan gimana cara kamu meraih cita-citamu itu.” “Aku pengen jadi dokter.” Crap! Kenapa adek gue sama aja kayak anak-anak SD lain? Tipikal banget sih! Pasti hampir semua anak SD kalo ditanya cita-cita pasti jawab dokter. Kenapa cuma gue doang yang beda? Cacha geleng-geleng kepala. Dari SD, Cacha memang beda. Gak seperti teman-teman lainnya yang bercita-cita jadi dokter, insinyur, pengacara dan aneka macam profesi keren lainnya, Cacha malah ingin menjadi penari. Cacha kecil senang sekali melihat para penari yang sedang berlatih di Pendopo yang terletak tidak jauh dari sekolah. Dulu, sepulang sekolah, Cacha pasti menyempatkan diri untuk mampir dan menonton mereka berlatih, mengagumi indahnya koreografi dan luwesnya gerakan para penari tersebut. Dan dari keinginan menjadi penari itu, Cacha bahkan sempat kursus menari tradisional selama hampir 1 tahun dan belajar aneka macam tari. Tapi pada akhirnya Cacha memilih untuk mengubur cita-citanya ini setelah melihat pendopo tari di dekat sekolahnya itu bangkrut dan kelompok tarinya harus bubar karena sepi job. “Kenapa kamu mau jadi dokter? Alasannya apa?” Adit berfikir sejenak dengan raut muka serius, berfikir. “Karena aku pengen nolong orang. Jadi dokter itu kan pekerjaannya nolong orang terus, pasti banyak pahalanya. Kata Ibu, menolong orang itu pekerjaan mulia.” Yeah. Ibu juga pernah ngomong begitu ke gue. Jadi sekarang Adit pelan-pelan ‘diracuni’ supaya bisa jadi dokter? Setelah gak berhasil membujuk gue, sekarang target pindah ke Adit? “Lalu apalagi? Cuma itu aja alasannya? Yang banyak dong Dit biar cerita kamu panjang dan nanti dapat nilai bagus.” “Duuuh apalagi ya? Karena jadi dokter itu keren? Hehehe. Trus bisa dapet uang banyak? Aduh Kak, aku gak tau lagi.” Adit mulai bingung Cacha menepuk bahu adiknya ini, memberinya semangat. “Ayo difikir lagi, Kak Cacha yakin kamu bisa. Masa’ si ranking dua ini gak bisa mengarang?.” “Tapi Kak, aku gak tau lagi.” “Gak boleh menyerah gitu dong, ayo fikir lagi. Kamu pasti bisa.” “Sekarang aku tanya, cita-cita Kak Cacha apa?” Adit malah balik bertanya Eh? Monyong! Ngapain juga pake nanya cita-cita gue? Harus jawab apa ya? Cacha jadi pusing sendiri. Gak mungkin dong ia jawab ‘Kakak gak punya cita-cita’ –walaupun memang itu kenyataannya-, tapi setidaknya Cacha memiliki tanggung jawab untuk memberi contoh yang baik untuk Adt dan memberi jawaban seperti itu bukanlah contoh baik untuk adiknya yang cerdas ini. Cacha balas menatap mata bulat adiknya yang lekat menatapnya, menunggu jawaban. “Cita-citaku? Aku mau jadi penulis.” “Penulis? Yang bikin novel gitu Kak? Penulis cerita?” Cacha mengangguk. “Iya. Aku pengen banget, suatu saat nanti aku bisa liat novel yang aku tulis ada di rak toko buku. Aku juga pengen banget suatu hari nanti cerita atau tulisan aku bisa menginspirasi orang lain dan gak cuma jadi hiburan aja. Intinya aku mau jadi penulis hebat.” Adit manggut-manggut. “Alasan Kak Cacha mau jadi penulis apa?” “Karena dengan menulis Kak Cacha bisa menyalurkan imajinasi dan perasaan. Karena dengan menulis, Kak Cacha bisa menjadi jujur. Karena dengan menulis, Kak Cacha merasa bahagia dan puas. Bingung ya? Yang pasti aku mau jadi penulis karena aku suka menulis. Dan Adit juga harus gitu, Adit mau jadi dokter karena Adit memang suka dan mau jadi dokter, bukan karena orang lain.” Adit masih manggut-mangut, berusaha mencerna omongan Cacha. “Oke, aku ngerti. Sekarang aku tau mau nilis apa. Makasih ya Kak.” Adit mengecup lembut kening Cacha lalu bangkit dan kembali ke kamarnya. “Nanti kalo ceritanya udah selesai Kak Cacha liat yaah.” Cacha ikut ke luar kamar, bermaksud untuk mengambil minum di dapur. Jam segini keadaan rumah selalu ramai. Bapak dan Ibu duduk di depan televisi, menonton acara kontes Dangdut favorit mereka yang -menurut Cacha- diisi dengan lawakan basi dan gak penting dari para presenternya. Kadang Bapak dan Ibu juga suka berebut memilih channel, Bapak memilih untuk tetap menonton kontes Dangdut dari awal sampai akhir, sementara itu Ibu –yang juga pecinta sinetron- gak setuju dan lebih memilih menonton Cinta Fitri 2 Cacha gak pernah bergabung dengan kedua orangtuanya ini Selain karena hubungannya dengan Bapak dan Ibu yang jadi tidak baik sejak insiden Bapak memintanya untuk mundur dari Sastra Indonesia UI, Cacha pribadi juga tidak suka nonton televisi. Buat Cacha televisi Indonesia cuma sekedar proyek pembodohan untuk para penontonnya. Dan Cacha gak ingin ikut-ikutan menjadi bodoh lantaran dijejali tontonan tidak bermutu dari stasiun televisi Indonesia. Paling-paling Cacha menonton televisi untuk melihat berita atau kadang mengintip tayangan musik, sudah hanya sebatas itu, tidak lebih. “Cha sini duduk, ikutan nonton bareng.” Bapak memanggil Cacha. Cacha yang baru saja keluar dapur, membawa segelas teh hangat menoleh ke arah Bapak. “Aku capek banget Pak, mau istirahat.” “Istirahatlah sini rame-rame sama Ibu dan Bapak.” Bapak menyela Istirahat sambil nonton kontes dangdut gak penting ini? Gak deh. “Aku di kamar aja. Badanku pegal banget Pak.” Sebelum Bapak sempat kembali bersuara Cacha buru-buru masuk ke kamar, ia malas berbicara dengan Bapak karena pasti ujungnya akan berakhir dengan adu mulut yang sengit, seperti yang sudah-sudah Jujur Cacha masih marah ke Bapak Cacha masih menganggap Bapak sebagai seseorang yang merenggut cita-citanya, yang selalu memaksakan keinginannya tanpa pernah melakukan sedikit kompromi Karena Bapak Cacha batal menjadi mahasiswi Sastra Indonesia UI. Semua karena Bapak *** Starbucks Citos, waktu yang sama “Wazzup Bro? Kemana aja lu? Kok tiba-tiba ngilang?” Arta yang sedang duduk santai, sendirian, dan menikmati Frapuccino Caramel terhenyak kaget, nyaris tersedak ketika bahunya ditepuk dengan cukup kencang oleh seseorang. Seseorang yang sangat Arta kenal, Edgar, temannya di geng basket kampus “Lo kemana aja Nyet? Hampir seminggu hilang gitu aja, ditelfon gak pernah diangkat, di kampus gak pernah basket bareng lagi.” Arta langsung diberondong pertanyaan oleh Edgar Arta tersenyum tipis, sejujurnya ia berharap tidak bertemu Edgar –atau anggota geng basket lainnya- di sini. Hari ini Arta capek banget, tadi di kampus ia harus mengulang tugasnya karena ada beberapa hal yang menurut dosennya masih kurang, kemudian di Abjad Arta harus menyelesaikan desain Ikon Abjad versi baru –dimana ia belum mendapatkan inspirasi seperti apa desain yang harus dibuatnya-, dan barusan aja Arta bertengkar dengan Ninda, pacarnya, karena Ninda protes dengan kesibukan Arta yang menurutnya seperti lupa daratan. “Di sini-sini aja Gar, gak kemana-mana.” Arta menjawab singkat, malas berbasa-basi dan malas menjelaskan kesibukannya akhir-akhir ini Edgar memperhatikan Arta, penuh selidik. “Sibuk? Segitu sibuknya ampe gak sempat basket dan nongkrong di X2?” Arta melengos. “Gue sekarang bantu-bantu Mas Yudha di Abjad dan dia ngasih tugas yang lumayan banyak buat gue.” “Lo ikut kerja? Hmmm ada angin apa? Sebagai adik pemilik Abjad lo masih dapet banyak tugas? Kasih aja ke yang lain, ribet banget sih.” Gaya meremehkan Edgar yang ‘Edgar banget’ inilah yang sangat tidak disukai Arta –yang juga menjadi salah satu alasannya kenapa ia malas nongkrong bareng dengan Edgar dan konco-konconya yang lain- “Gue di sana bagian desain interior Gar, dan cuma sendiri aja, jadi apa-apa mesti dikerjain sendiri, kadang dibantuin pegawai yang lain juga sih.” “Jam 11 nanti private party Sanchia di Segarra, lo dateng kan?” Edgar menyudahi topik pekerjaan yang menurutnya membosankan dan menggantinya dengan obrolan mengenai agenda party dan kegiatan hura-hura favoritnya Arta menggeleng. “Nope. Badan gue capek banget. Ini aja gue kebetulan ke sini karena Ninda ngajak ngopi bareng.” “Ninda mana? Nanti malam cewek lo pasti ikutan dan lo juga harus ikut Bro.” “Ninda udah balik. Palingan nanti dia dateng sama geng ceweknya dan dia tau kok gue lagi ribet ama kerjaan.” Arta menjawab ogah-ogahan Edgar memperhatikan Arta, menyelidik, heran dan bertanya-tanya dengan perubahan temannya ini. “Lo kenapa Nye? Masih ngambek ama Davin karena kejadian minggu lalu ya?” Rahang Arta mengeras, menahan emosi, ia tidak suka mendengar nama Davin disebut “C’mon Sidharta! Davin gak serius Nyet, elo sensitif banget sih, terlalu dimasukin ke hati. Dia cuma becanda Ar.” Arta mendengus. “Terserah-lah.” Minggu lalu, lapangan basket Universitas Nasional Indonesia, tim basket UNI sedang latihan sekaligus melepaskan penat karena sudah seminggu ini kuliah begitu padat. Arta ikut berada di situ bersama Edgar, Davin, Marco, Fajar, Riza dan yang lainnya. Selepas latihan seperti biasa mereka duduk-duduk santai di pinggir lapangan, beristirahat sambil ngobrol ngalor-ngidul, membicarakan banyak hal mulai dari yang topiknya penting sampai ke topik yang sama sekali gak penting. Topik cewek adalah salah satu yang rutin mereka bicarakan, dan topik inilah yang menyulut pertengkaran antara Davin dan Arta. “Lo dan Ninda udah ngapain aja Ar?” Davin iseng nyeletuk Arta yang sedang melap lengannya yang penuh keringat menoleh ke arah Davin, mendapati cowok ini tengah menatapnya dengan wajah usil. “Menurut lo?” Davin tertawa. “Ayolaaaaah. Malu? Kenapa mesti malu? Jawab ajalah Ar.” Edgar ikut tertawa. “Bibir pasti udah dapetlah. Yang lainnya apalagi Bro?” Arta tertawa, risih. Meski hal begini sudah sering banget dibicarakan diantara mereka, tetap saja Arta merasa risih, terlebih biasanya ia tidak pernah terlibat dalam topik ini. Biasanya cuma Davin, Edgar dan Riza yang sibuk show off dengan ‘pencapaian’ apa yang telah mereka dapat ketika berpacaran. “Ciuman doang. Gak lebih.” Akhirnya Arta menjawab, pendek, tidak berniat menjelaskan secara gamblang. Riza geleng-geleng kepala, gak percaya. “Cuma ciuman? Serius lo? Hari gini pacaran cuma ciuman?” sebagai PK nomer satu Riza merasa jawaban Arta sama sekali tidak berbobot. Cuma ciuman? Hari gini? Anak SMP juga bisa! “Menurut lo gimana? Gue bukan elo yang gampang nidurin cewek Za.” Davin masih tertawa, kali ini lebih keras. “Padahal Ninda gampang diajak bobo bareng loh Nyet. Lo aja check in dia pasti langsung mau.” “Serius lo?” Marco kaget Davin mengangguk. “Gue pernah, sekali. Jaman-jamannya semester satu. Kita mabok, pulang dari Embassy lanjut ke Mulia dan have sex di sana. Goyangannya mantap. Body? Gak usah ditanya lagi! Puas abis!” dengan jumawa Davin bercerita, ia tidak menyadari perubahan air muka Arta yang menjadi merah, menahan marah. Davin menoleh ke Arta kemudian menepuk bahunya santai. “Tenang aja boss, gue bukan yang pertama. Waktu main ama gue Ninda udah gak perawan kok. Jadi gue juga ngerasain bekas orang hehe.” “Lo emang dahsyat Vin. Semua cewek cantik lo embat! Gokil.” Fajar geleng-geleng kepala, tampak kagum dengan pencapaian Davin yang dianggapnya sebagai sebuah prestasi membanggakan. “Jangan sebut gue Davindra Atmadja kalo gue gak bisa ngajak cewek ML.” Davin menepuk dada bangga dengan dagu terangkat. Arta yang sudah tidak tahan dan muak bangkit dari duduknya dalam diam, tanpa kata-kata, ekspresi mukanya sudah menjelaskan seperti apa perasannya. “Guys, gue cabut duluan.” Arta mengambil tas-nya dan bermaksud untuk segera cabut Tapi Davin belum selesai. “Mau kemana lo Nyet? Gitu aja marah. Harusnya lo sadar resiko punya pacar gampangan ya kayak gitu. Gak usah marah sama gue.” Arta tidak menjawab. “Gue gak peduli. Terserah lo mau ngomong apa.” “Hahahaha. Elo terlalu lurus Ar. Mending lo jadi ustadz aja sana. Baru gitu doang aja udah ngambek. Cupu lo. Gue kira cuma Bharata Yudha yang cupu, ternyata adeknya juga!” Davin masih saja berkicau Arta balik badan, memberi hadiah Davin berupa satu tonjokkan di pipi kanan dan kemudian berlalu sebelum Davin sempat memberi perlawanan. Arta tau siapa Ninda Ia tau reputasi Ninda sebagai cewek –yang kata Davin- gampangan Tapi Arta jelas gak bisa merubah keadaan itu. Ninda ya Ninda dan Ninda sudah seperti itu sebelum ia bersama Arta, dan Arta jelas tidak bisa mengubah kenyataan yang terjadi saat Ninda belum menjadi pacarnya. Arta sayang Ninda. Itu sudah jelas. Dan sebagai wujud rasa sayangnya, Arta selalu memperlakukan Ninda dengan baik. Ia ingin menjadi cowok yang bertanggung jawab, yang bisa menjaga pacarnya dengan baik dan menjadi tempatnya bersandar. Buat Arta, pacaran bukan untuk melakukan aktifitas seksual yang berlebihan. Buat Arta, pacaran itu komunikasi. Dan komunikasi yang baik tidak melulu dilakukan di ranjang, seperti yang kebanyakan temannya lakukan. Buat Arta, Ninda itu istimewa. Lepas dari kenyataan bahwa gadisnya ini tidak bisa menjaga keperawanannya, Arta tetap menjadikan Ninda sebagai gadisnya yang paling istimewa, yang paling ia sayang Dan Arta tidak suka jika seseorang melecehkan Ninda, seperti yang Davin lakukan. “Jadi lo gak ikut ke Segarra nih?” Edgar bertanya, memastikan Arta mengaangguk mantap. “Salam aja buat anak-anak. Salam juga buat Sanchia.” “Sip. Gue cabut duluan ya!” Edgar menjabat tangan Arta kemudian berlalu meninggalkan Starbucks. Arta menghela nafas lega, senang karena ia bisa kembali bersantai sendirian tanpa diganggu siapapun. *** Lima “Raisya bisa tolong saya sebentar?” Cacha yang sedang merapikan buku-buku di rak new release bergegas menghampiri Yudha yang memanggilnya, meminta bantuan. “Ada apa Pak?” “Tolong telfon Arta dan minta dia cepat datang ke sini. Dari tadi saya telfon tapi gak diangkat-angkat juga. Tolong ya Raisya, saya gak ada waktu, ini saya harus ke Kemang untuk meeting.” Yudha berbicara cepat “Saya gak tau nomer telfon Arta, Pak.” “Kamu masuk ke ruangan kerja Arta, di atas meja ada kok nomernya. Minta Arta cepat datang dan menyelesaikan tugasnya memasang wallpaper, dan tolong sampaikan ke Arta untuk cepat merapikan ruang kerjanya, ya Tuhan katanya 2 hari yang lalu mau diberesin tapi kenapa sampai sekarang gak beres-beres juga?” Cacha mengangguk dan mencatat segala omongan Yudha di memori otaknya. “Baik Pak akan saya kerjakan.” Yudha tersenyum, senyum yang terlihat begitu charming dan mempesona. “Terimakasih Raisya Rizqita. Saya berangkat dulu, kalo Arta bikin ulah cepat kabari Angel atau langsung telfon saya.” Setelah pamit Yudha berjalan ke luar meninggalkan Abjad Setelah Yudha pergi Cacha berjalan ke ruang kerja Arta, melaksanakan tugasnya Cacha duduk di kursi kerja Arta, mengambil secarik kertas dari atas meja kemudian menelfon Arta sesuai dengan nomer yang tertera di kertas itu. Setelah menunggu hampir 5 menit akhirnya nada sambung terjawab. “Ha-lo.” Terdengar suara parau di ujung sana, suara khas orang baru bangun tidur “Pagi Arta, ini saya Cacha.” Cacha bicara ragu-ragu “Hmmm. Cacha?” “Iya, Cacha, pegawai di Abjad.” “Abjad? HEH?” terdengar suara gedubrakan, nampaknya Arta baru sadar kalau hari sudah siang dan ia pun harus melaksanakan tugasnya di Abjad. “Astagfirullah, udah jam setengah sebelas? Ya ampun! Pasti Mas Yudha ngamuk nih.” Cacha tersenyum mendengar nada ketakutan di suara Arta itu. “Tenang aja, Pak Yudha gak ada di kantor kok, dia ada meeting di Kemang.” “Alhamdulillah. Trus dia ngomong apa aja Cha? Pasti marah-marah ya?” “Engga kok. Pak Yudha cuma pesan, Arta diminta cepat datang ke Abjad dan memasang wallpaper, lalu ruang kerja Arta juga harus cepat dibereskan secepatnya.” Arta menghembuskan nafas lega. “Oke. Aku mandi sekarang, makasih ya Cha dan nanti jangan lupa bantu aku..” KLIK! Telfon ditutup, bersamaan dengan munculnya seseorang di dekat pintu, Ririn. “Oooooh jadi sekarang kalian udah telfon-telfonan? Pake telfon kantor pula.” Ririn berkata dengan muka judes dan nada bigos andalannya Cacha bangun dari kursi. “Kenapa? Pengen?” “Maksud lo? Sorry yaaaa gue sih gak murahan kayak elo. Kakak gak dapet sekarang adeknya diembat.” Cacha tertawa meremehkan. “Murahan? Bukannya elo yang biasa jual murah dan banting harga?” “Sialan lo. Nyolot banget sih!!” Cacha berjalan melewati Ririn dengan senyum dikulum. “Baru tau kalo gue nyolot?.” Cacha meninggalkan Ririn yang menahan geram karena lagi-lagi gagal menyudutkan Cacha, semua perkatannya pasti bisa dibalas dengan sikap tenang dan kalimat tepat yang justru malah membuat Ririn KO, tidak berkutik. Begitu Cacha keluar dari ruang kerja Arta dan bermaksud untuk kembali merapikan buku-buku di rak new release, ia berpapasan dengan seorang perempuan cantik yang baru saja datang memasuki Abjad. Perempuan cantik yang sangat familiar karena ia sering datang ke Abjad –selain itu wajahnya juga memang sering beredar di berbagai media berkat statusnya sebagai novelis dan penulis skenario sukses-. Ayudya Pradita “Hai Cacha, apa kabar?” Ayu menyapa Cacha ramah dengan senyum manisnya yang mempesona, cantik sekali. Cacha membalas senyum itu dan berusaha untuk memberikan senyum terbaiknya –walau ia tau pasti gak bisa semanis senyum Ayu- “Pagi Kak Ayu. Baik Kak. Tumben pagi-pagi ke sini, biasanya kalo ke sini sore atau malam.” “Iya nih. Lagi kangen main di sini. Yudha dan Arta ada?” “Pak Yudha ada meeting di Kemang dan Arta belum datang.” Ayu mengangguk mengerti. “Oke, aku ke Abjad Kopi dulu ya, dikejar deadline tulisan nih. Nanti kita ngobrol-ngobrol yaa.” Ayu pamit dan beranjak ke Abjad Kopi, sebuah kedai kopi berukuran lumayan besar yang letaknya menyatu dengan Abjad, tepatnya berada di bagian belakang. Cacha sangat mengagumi Ayu Ayudya Praditai, novelis handal yang 2 novelnya telah diangkat ke layar lebar dan keduanya sukses, sukses dari segi komersil dan juga kualitas. Selain membuat novel –yang jumlahnya sebanyak 9 novel dan kesemuanya Cacha miliki- Ayu juga sibuk menulis skenario film, total skenario film yang dikerjakannya sebanyak 5 film dan salah satu diantaranya dianugerahi penghargaan sebagai Skenario Terbaik di Festival Film Indonesia. Cacha ingin seperti Ayu Suatu saat nanti ia ingin bisa berhasil sebagai penulis sukses yang hebat seperti Ayudya Pradita. Mimpi Cacha menjadi penulis masih ada. Cita-cita Cacha menjadi penulis juga masih tersisa. Tapi Cacha tidak mau berharap terlalu banyak. Ia tidak mau bermimpi dan memiliki cita-cita yang terlalu jauh. Cacha takut mimpi dan cita-citanya terenggut lagi Cacha takut semua keinginannya kembali pergi begitu saja, seperti yang sudah-sudah. Dan kini Cacha berusaha untuk lebih tau diri. Ia tau dirinya siapa dan ia tau bukan haknya untuk memiliki cita-cita dan mimpi setinggi langit. Cacha gak mau kembali bersedih dan nangis seperti ember bocor manakala mimpi dan cita-citanya kandas di tengah jalan, seperti yang dulu, seperti yang selama ini selalu terjadi. Kini Cacha berusaha untuk realistis Cacha gak mau muluk-muluk, toh selama ini semua mimpinya selalu berakhir mengenaskan dan gak pernah tercapai. Cacha memilih untuk lebih menerima. Menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa menjadi seperti apa yang ia inginkan. Menerima kenyataan bahwa Bapak –dan tentunya keadaan- jarang berbaik hati padanya dan tidak memberikan kemudahan bagi Cacha untuk menggapai impiannya. “Heihei. Selamat pagi.” Saat Cacha masih melamun dan sibuk dengan fikirannya sendiri, sebuah suara ramah yang terdengar hangat menyapanya, dari arah samping. Cacha lekas menoleh, mendapati Arta yang sudah berdiri di sampingnya dengan wajah segar dan rambut yang masih sedikit basah, samar Cacha dapat mencium harum wangi sabun bercampur dengan parfum Arta. “Hei. Selamat pagi menjelang siang.” Arta tersenyum, memamerkan sederet giginya yang putih rapih. “Kamu nyindir? Ini aku bela-belain mandi cepat dan ekstra ngebut loh! Untungnya jalanan lancar banget, tumben jalanan gak macet.” Arta berkata sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya, kotak makan. “Tadi aku gak sempat sarapan, untung Ibu udah nyiapin bekal. Nih satu buat kamu.” Cacha masih bengong. Di tengah-tengah Abjad –yang untungnya masih sepi- Arta dengan cueknya membuka kotak makannya dan memberikan satu tangkup sandwich untuk Cacha. Cacha menerimanya dalam diam, tidak berkomentar. Kemudian Arta –masih dengan santainya- mulai asik menikmati setangkup sandwich yang tersisa di kotak makannya, begitu santai dan gak memperdulikan tatapan para pegawai Abjad –terutama Ririn- yang menonton adegan simpel namun terkesan sarat perhatian antara Arta dan Cacha. “Yuk ke ruanganku. Kita mulai kerja bakti! Gilaaaa hari ini gue jadi kuli sehari nih!” Arta berjalan menuju ruang kerjanya, Cacha mengekor di belakang. Setelah menghabiskan sandwichnya dan menaruh tas di meja, Arta mengambil gulungan wallpaper yang harus dipasangnya hari ini, selain itu ia juga harus membenahi ruang kerjanya yang belum 100% rapih dan nyaman untuk ditempati, dan Arta yakin ia sangat butuh bantuan Cacha dalam menyelesaikan pekerjaannya ini. “Mau mulai pasang wallpaper ini sekarang gak?” Arta menoleh ke arah Cacha yang masih berdiri diam di dekat meja, melamun. Menyadari Cacha yang fokusnya sedang berkelana ke tempat lain, Arta menghampiri Cacha, berdiri tepat di hadapannya. “Hei. Kok melamun? Mikirin apa sih?” HAH? “Apa? Eh? Maaf-maaf.. Tadi Arta ngomong apa?” Cacha buru-buru bersikap biasa, meredam kagetnya –dan rasa malunya, terutama- karena tertangkap basah sedang melamun Arta tersenyum lembut, berusaha memaklumi. “Kamu kenapa Cha? Baik-baik aja kan?” Cacha mengangguk dan menunduk, malu. Arta menarik tangan Cacha lembut, membawanya duduk di sofa. “Duduk sini Cha. Kita ngobrol-ngobrol dulu deh.” Ngobrol? Lagi? “Kamu kenapa? Ada masalah? Kok dari tadi diam aja? Aku punya salah ya?” Arta bertanya masih dengan nada lembut yang sama, terlalu intens, terlalu intim dan terlalu dalam. “Saya gak papa. Tadi kebetulan saya melamun.” Arta masih menatap Cacha dengan padangan teduh yang sama. Cacha makin tidak nyaman. Buatnya ini sudah terlalu jauh. Ia pegawai dan Arta atasan. Ia di sini sebagai rekan kerja, bukan yang lain, tapi Arta memperlakukannya seperti yang lain, ia memperlakukan Cacha terlalu manis, membuat Cacha terbuai sekaligus bingung. “Yuk Ar mulai pasang wallpapernya, nanti keburu siang loh.” Cacha memberanikan diri untuk menyudahi suasana yang terlalu intens ini. Ia gak mau terlalu lama terbuai dan akhirnya asik bermimpi terlalu jauh. Cacha takut. Ia memilih untuk menjaga jarak. Menjaga perasaannya. Arta masih duduk di sofa, belum mengerti dengan perubahan Cacha pagi ini. “Okey. Kalo kamu gak mau cerita gak papa, tapi yang pasti kamu harus ingat, sebagai rekan kerja kamu di sini, kamu boleh banget cerita ke aku, berbagi masalah dan jangan dipendam sendiri.” Cacha meringis. Kata-kata Arta terlalu manis dan terlalu mustahil untuk menjadi nyata, bagi Cacha. “Ini mau dipasang di mana? Di space buku anak kan? Saya pasang di sana ya.” Cacha membawa segulung wallpaper bernuansa ceria khas anak-anak dan berjalan ke luar ruang kerja Arta Arta menatap Cacha dengan bingung menyelimuti. *** Jam istirahat makan siang “Gue harus jauhin dia.” “Hah? Jauhin dia? Dia siapa?” Maya yang sedang menikmati batagornya menatap Cacha bingung, heran dengan tingkah temannya ini yang memang suka ajaib “Arta.” Jawab Cacha singkat. Siang ini ia laper berat dan dengan kalapnya ia sudah menghabiskan satu porsi bakso dan kini ditambah dengan sepiring batagor. Mungkin karena otak gue lagi kacau makanya gue jadi rakus begini. Maya bingung. “Kenapa? Bukannya beberapa hari ini elo dan Arta lagi dekat? Elo kan diminta Pak Yudha buat bantuin Arta selama ia magang di sini.” “Justru itu. Gue mau kita, maksudnya gue dan Arta, cuma dekat karena pekerjaan, bukan karena yang lain.” “Yang lain itu apa?” Maya masih belum mengerti “Gue gak bisa lama-lama dekat ama Arta May. Dia bikin gue nyaris gila. Tiap hari ngomong lembut, ngasih perhatian-perhatian kecil yang manis dan yang bikin gue makin gak tahan, matanya itu kayak ngomong ‘gue ada buat elo Cacha’.” Maya makin gak ngerti. “Serius deh gue gak ngerti lo ngomong apa.” Cacha menatap Maya, serius. “Gue gak tahan dengan sikap manis Arta, May. Gue gak bisa terus-terusan begini. Gue gak bisa May.” Maya mengangguk, mulai mengerti. “Apa salahnya Arta bersikap manis ke elo?” “SALAH BANGET! Gak seharusnya dia kayak gitu. Kita rekan kerja. Status dia jelas ATASAN gue dan gue BUKAN SIAPA-SIAPA. Harusnya sebagai rekan kerja Arta bersikap sewajarnya aja, gak berlebihan seperti ini.” “Elo yang berlebihan.” “Heh? Maksud lo? Kok malah gue?” Maya menyeruput teh botolnya. “Elo berlebihan banget Cha. Lo gak perlu seribet ini. Gue tau, lo takut jatuh cinta kan? Dan elo gak mau semuanya berantakan? Elo udah berfikir terlalu jauh. Jauh banget.” Cacha diam. Ia tau kata-kata Maya benar. Sangat benar. Cacha memang takut. Ia takut perasaan nyaman yang timbul ketika ia bersama Arta tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Cacha gak mau itu terjadi. Ia sadar siapa dirinya. Dan terlebih lagi Cacha sangat sadar bahwa ia harus menerima kenyataan bahwa ia tidak ditakdirkan untuk bermimpi, mengingat semua mimpi dan keinginannya selalu terbang begitu saja, sia-sia Maka itu Cacha tidak mau terbuai terlalu lama Kalimat-kalimat manis, mata teduh yang nyaman, mimik lucu yang sangat mempesona dan semua hal yang berhubungan dengan Arta tidak boleh menjadi sesuatu yang berlebihan, yang membuat Cacha berharap terlalu banyak. Cacha mau semua berjalan wajar. Ia mau Arta bersikap wajar dan ia mau perasannya juga terus menjadi wajar, tidak berubah menjadi berlebihan. Dan mungkin dengan menjaga jarak, atau kasarnya menjauhi Arta, semua itu bisa terlaksana. “Lo jelas punya alasan kuat untuk gak terlalu dekat dengan Arta.” Maya berkata setengah berbisik, matanya mengarah ke sebuah titik, ke tempat dimana ada sepasang kekasih sedang duduk berdampingan sambil makan es buah Cacha mengikuti pandangan Maya dan menemukan Arta sedang berdua dengan seorang perempuan cantik. Mereka tampak begitu bahagia, sorot mata Arta dan perempuan itu sama, memancarkan kasih sayang yang saling berbalas Mata teduh itu memang sudah seharusnya menjadi milik perempuan itu, bukan milik gue. “Informasi gue kemarin salah Cha. Ternyata Arta udah punya monyet, namanya Ninda, teman kuliahnya. Gue juga baru tau tadi pagi. Si Bejo yang ternyata tetangga Ninda, dia sering banget liat Arta main ke rumah Ninda dan katanya mereka pacaran udah lumayan lama.” Maya membagi informasi. Cacha tersenyum tipis, sedikit lega menyadari kenyataan bahwa perasaan itu memang tidak boleh lebih. “Elo gak patah hati May? Bukannya elo bilang Arta itu prince charming lo?” “Patah hati? Ya ampun, patah hati mah gak ada di kamus gue. Arta udah ke laut, gue udah punya gebetan baru sekarang. Namanya Nino” ujar Maya kenes. Cacha tertawa namun tawanya mendadak hilang begitu sadar Arta sedang menatapnya, memperhatikannya dengan mata teduhnya itu. Cacha melengos, cepat mengalihkan pandangan. Gue memang harus jauhin dia. Harus *** Label: work | |