Baihaqi Achmad

Panggil saya Haqi. Saya tertarik sekali dengan apapun yang berhubungan dengan seni dan film. Memiliki jutaan mimpi yang diusahakan sekali untuk dicapai. Memiliki tumpukan masalah yang sebisa mungkin diselesaikan. Memiliki beberapa potensi yang diusahakan untuk dikembangkan. Sangat ingin berkeliling Indonesia, menjadi penulis, menjadi wartawan dan membangun bisnis toko buku dan kafe



arsip

Juli 2007
Agustus 2007
September 2007
Oktober 2007
November 2007
Desember 2007
Januari 2008
Februari 2008
Maret 2008
April 2008
Mei 2008
Juni 2008
Juli 2008
Agustus 2008
September 2008
Oktober 2008



para tetangga

Teman Sekolah
Akbar Badriansyah|| Amalia Hapsari|| Amalia Sekarjati|| Febian Nurrahman|| Hendry Ma'ruf|| Keishkara Hanandhita|| Mayang Arum Anjar Rizky|| Novia Rozet|| Sari Rachmani|| Surioktya Zuarni Meisyka|| Valeska Liviani|| Yusrina Sabila

Penulis
Adhitya Mulya|| Alanda Kariza|| Dewi Lestari|| Fira Basuki|| Jenny Jusuf|| Ninit Yunita|| Nova Riyanti Yusuf|| Okke|| Prima Rusdi|| Raditya Dika|| Sitta Karina

Selebritis
Anizabella|| Christian Sugiono|| Dian Sastrowardoyo|| Eva Celia Lesmana|| Wulan Guritno

Teman Blogger
Agas|| Alia|| Alvin|| Arimbi|| Aulia|| Avo|| Chenel|| Citra|| Dara|| Deedee|| Dwikjohn|| Echa|| Jane|| Julham|| Kanira|| Kanya|| Kiky|| Lalla|| Lalita|| Meiggy|| Mini|| Mudjiran|| Nadine|| Nanien|| Refika|| Sheyka|| Siska|| Suci|| Synna|| Tarra|| Vito

Yang Lainnya
Kineforum|| Macabre|| Ragazzonline||

credits

skin by: Jane
Web Page Counter

Rabu, 13 Agustus 2008 @ 16.46
Draft Cerita

teman-teman semua, ini ada draft cerita yang baru aja saya buat dari hari Senin lalu, mohon komentar, kritik dan sarannya doooong. kalo sekiranya bagus saya mau lanjutin, thanks yaaa :)

Satu

Cacha duduk diam di kursi plastik berwarna merah, tanpa suara. Matanya yang indah memperhatikan keadaan sekitar, menatap ramainya suasana tempat makan kaki lima yang tetap disesaki pengunjung meski keadannya becek dan banyak genangan air akibat hujan yang turun sejak pagi. Cacha menyeruput teh hangatnya, kemudian merapatkan cardigan yang melapisi t-shirt putih dengan tulisan A.B.J.A.D dalam huruf besar berwarna merah di bagian dada –seragam kerjanya-

“Lo yakin gak mau makan?” Tanya cewek chubby yang duduk tepat di depan Cacha. Pipi bulatnya nampak kemerahan, menahan pedas dari nasi ayam bakar + sambal yang tengah disantapnya. “Nanti kita lembur sampe malam banget loh Say.”

“Gue gak laper May.” Cacha menjawab kalem. Ia masih asyik memperhatikan sekelilingnya yang begitu ramai dan hidup. Hiruk pikuk suara orang-orang yang sedang makan sambil mengobrol, nyanyian pengamen, bisingnya suara kendaraan, semuanya menyatu menjadi keramaian yang sangat berisik.

Maya menatap Cacha, khawatir. “Lo kenapa sih? Hari ini elo aneh banget, dari tadi bengong mulu kayak orang stres. Ada masalah?”

Cacha menggeleng sekali dalam ekspresi kalem yang masih sama. “Gue gak papa.”

“Muka murung lo itu jelas nunjukkin kalo ada apa-apa.” Maya berseru gak sabar

“Udah deh May lo makan aja. Gue beneran gak papa kok.” Cacha balik menatap Maya, mencoba meyakinkan temannya ini. “Lagipula elo tau, muka gue memang dari sana-nya kayak gini.”

Maya tersenyum tipis, ia tau banget sifat Cacha yang sangat introvert. “Tapi Say, sesekali lo perlu rubah setting muka lo itu.”

“Buat apa?”

“Buat bikin Ririn dan Nesya berhenti ngomongin elo.” Maya berkata dengan nada serius. “Lo gak bosan dipanggil si muka datar? Lo gak marah karena mereka selalu bikin berita gak beres tentang elo di kantor?”

Cacha tertawa. “Ngapain juga gue repot-repot ngurusin mereka? Gak penting.”

“Sesekali lo perlu bertindak Cha. Ririn dan Nesya udah kelewatan.” Maya mengingatkan, kadang ia kesal dengan tingkah Cacha yang –di matanya- terlalu kalem dan pasrah, terlebih dalam menghadapi Ririn dan Nesya, 2 biang gosip di Abjad Book Stores, tempat kerja mereka.

Cacha memilih untuk tidak ambil pusing. Buatnya Ririn dan Nesya gak lebih dari sekedar dua cewek kurang kerjaan yang haus perhatian dan dengan sekuat tenaga berusaha keras untuk diperhatikan –meski kadang cara yang mereka lakukan salah- semua orang di Abjad.

Salah satunya dengan rutin menyebar gosip murahan tentang Cacha

Mulai dari menyebarluaskan fitnah dengan menyebut Cacha ada ‘main’ dengan Pak Yudha, pemilik Abjad yang di umurnya yang sudah menginjak kepala tiga belum juga berkeluarga. Cacha juga pernah dicap freak lantaran Ririn dan Nesya selalu menyebutnya si Muka Datar yang cuma mau bergaul dengan buku-buku aneh –maksudnya novel-novel sastra yang memang menjadi bacaan favorit Cacha. Dan baru-baru ini dua biang gosip itu membuat berita palsu lagi dengan sebuah fitnah yang kali ini membuat Maya marah besar karena ia ikut dilibatkan, Ririn dan Nesya menyebut Cacha dan Maya adalah sepasang lesbian.

Cacha sih santai-santai aja. Pepatah ‘Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu’ selalu ia terapkan untuk menghadapi ulah Ririn dan Nesya yang selalu mengganggunya tanpa henti. Tinggal Maya yang repot membuat klarifikasi agar pasarannya gak jatuh karena takut cowok-cowok batal mendekatinya yang percaya dengan gossip bahwa ia seorang lesbian.

“Say lo udah kenal Sidharta Arlingga belom?”

Cacha mengerutkan kening begitu mendengar sebuah nama yang disebut Maya, merasa asing. “Siapa tuh?”

“Adik bungsunya Pak Yudha.” Maya menjawab bersemangat, ia telah menyelesaikan makan malamnya dan kini waktunya untuk ngobrol-ngobrol sebelum waktu istirahat makan malam mereka habis dan harus kembali bekerja.

Cacha mengangguk sekali, tidak merasa tertarik untuk melanjutkan perbincangan ini. Tapi tidak begitu dengan Maya yang nampaknya malah sangat bernafsu untuk menjelaskan sosok Sidharta Arlingga.

“Dua hari yang lalu Arta –itu nick name-nya, datang ke Abjad. Dan Oh My, dia ganteng banget! Sebelas-dua belas lah ama abangnya, tapi aura gantengnya beda. Arta lucu, gayanya juga keren dan enak diliat.” Maya berhenti sejenak. “Umurnya baru 21 tahun, gak beda jauh sama kita! Alhamdulillah masih single . Arta masih kuliah jurusan Design di Universitas Nasional Indonesia. Dan yang terpenting adalah, dia akan magang di Abjad sebagai graphic designer.”

“Dua hari lalu elo kenalan sama Arta-Arta ini dan lo udah puya informasi sebanyak ini? Baca di mana? Tabloid gosip? Infotainment? Atau lo malah ikut bergosip ama Ririn dan Nesya?”

Maya mencibir. “Enak aja! Kebetulan kemarin gue dan Arta sempat ngobrol-ngobrol bentar, dia ramah banget loh Cha, seru banget buat diajakin ngobrol.”

“Dan elo naksir dia?” Tembak Cacha langsung, hafal banget dengan tabiat Maya yang gampang banget tertarik ama cowok.

Maya nyengir tanpa dosa. “Menurut lo? Ada alasan spesifik kenapa gue menolak untuk jatuh cinta ama si ganteng Arta? Say dia tuh KEREN banget.” Kali ini mata Maya berbinar-binar bahagia

Cacha tertawa. “Lo cuma interest May, seperti biasa. Fisiknya yang kata lo ganteng banget ditambah dengan sikapnya yang kata lo ramah banget pastilah bikin elo tertarik, tapi itu cuma sekedar suka, bukan cinta.”

“Deuuu serius amat sih. Suka, naksir, interest, cinta, apalah itu, gue gak peduli. Yang pasti kali ini Arta sukses menggantikan posisi Robi sebagai prince charming gue.”

“Terserah lo deh.”

“Iiih kok gitu? Lo gak suka kalo gue jatuh cinta? Kenapa? Iri? Gue heran deh ama lo Cha, walaupun emang sikap lo beda ama cewek-cewek kebanyakan, tapi elo kan cantik, jauh lebih cantik dari gue malah! Tapi kenapa dari jaman gue jadi teman sekelas lo waktu SMP dulu ampe sekarang, gue gak pernah liat elo deket ama cowok? Lo masih doyan cowok kan Say?”

“Lo fikir gue lesbian?”

“Gak gitu.” Maya buru-buru menyambar sebelum Cacha tersulut emosi. “Gue cuma heran aja kenapa elo betah banget jadi jomblo. Say, gue aja yang gendut jelek begini pernah pacaran 3x, masa’ elo yang cantik begitu belom pernah pacaran?” Maya berkata hati-hati

Cacha meminum teh hangatnya –yang sekarang sudah dingin- sampai tandas. “Karena gue aneh May. Mana ada cowok yang mau ama cewek gak jelas kayak gue.” Pelan Cacha berbicara, tiba-tiba sisi sentimentilnya mendominasi.

“Lo bukan aneh. Lo itu unik.”

Cacha melengos malas. Sejujurnya ia tidak suka dengan image aneh yang kadung melekat padanya. Cacha gak pernah suka dengan pengkotak-kotakan kepribadian yang dibuat orang-orang dengan seenak jidat tanpa perlu konfirmasinya terlebih dulu –bahkan seringnya Cacha mendapat label atau cap aneh dari orang yang bahkan belum mengenalnya dan memberi penilaian hanya dari tampak luarnya saja-

Cacha setuju dengan pendapat Maya

Ia lebih senang disebut unik. Bukan aneh. Bukan freak. Bukan pula si Muka Datar.

Tapi sialnya dari sekian banyak orang yang dikenal Cacha, cuma Maya yang bisa menerima Cacha apa adanya, menerima Cacha sebagai sosok teman yang unik dengan segala macam kekurangannya. Dan Cacha pun berusaha menjadi teman yang baik pula untuk Maya, satu-satunya teman yang ia punya, yang ia kenal sejak masih ABG sampai sekarang umurnya menginjak 19 tahun.

“Balik ke kantor yuk! Udah jam 7 nih.”

Maya merengut. “Duuuh Say, nanti dulu deeeeh, makanan gue belom turun nih. Ngobrol-ngobrol dulu kek sambil cuci mata, siapa tau ada yang ganteng.”

Cacha bangkit dari duduknya dan menjitak kepala Maya. “Centil banget sih lo. Udah yuk buruan.” Cacha beranjak meninggalkan Maya, membayar teh hangatnya dan kemudian berjalan menuju Abjad.

Maya menyusul di belakang Cacha dengan bibir manyun

***

“Arta? Tumben kamu gak kelayapan di luar? Duit jajannya udah habis?”

Arta yang sedang duduk santai di living room sambil menonton Discovey Channel menoleh ke arah suara lembut yang menyapanya, Mbak Ayu, kakak keduanya tampak baru saja pulang ke rumah dengan wajah cantiknya yang terlihat sedikit kelelahan. “Baru pulang Mbak? Dari mana aja?”

Ayu mengecup sekilas pipi adiknya ini sebelum ikut duduk di sebelah Arta. “Aku abis meeting di Cinema Pictures, ngomongin skenario film yang akan mereka jadikan film.” Jawab Ayu cepat.. “Kamu belom jawab pertanyaanku, tumben banget kamu ada di rumah, gak pergi? Biasanya kamu pasti kelayapan di club bareng geng basket-mu itu.”

“Males Mbak. Gak mood.”

Ayu menaikkan sebelah alisnya, merasa heran. “Gak mood? Sejak kapan? Kamu kan party goers sejati Ar.” Dilihatnya sosok Arta yang malam ini nampak beda, terlihat lebih kalem

“Lagi gak mood aja Mbak, lagipula aku dikejar deadline gambar untuk Abjad, besok harus aku serahkan ke Mas Yudha.”

“Gambar? Abjad? Eh? Sejak kapan?” Ayu murni terkejut, ia gak tau kalau adik bungsunya ini sekarang ikut terlibat dalam bisnis toko buku yang dibangun Yudha Bharata, si sulung.

Arta tertawa dan balas menatap pandangan heran Ayu. “Mbak Ayu sih sibuk banget, sama aja kayak Mas Yudha, jadi gak tau apa-apa kan tentang gabungnya aku di Abjad.. Iya, aku sekarang direkrut Mas Yudha untuk magang di sana, ngurusin design gambar biar interior Abjad terlihat lebih fresh dan gak monoton.”

Really? Wow, great! Gitu doong, keahlian kamu bisa disalurkan dengan baik.” Dirangkulnya Arta hangat, memberi dukungan pada adik tersayangnya ini.

Arta tersenyum. “Iya dooong. Emangnya cuma Mas Yudha dan Mbak Ayu aja yang bisa produktif? Aku juga bisa.” Nada bangga tersirat sekali dalam perkataan Arta ini

Ayu mengangguk setuju. “Alhamdulillah. Jadi sekarang mau serius dengan magangnya nih? Mau absen pesta dan hura-hura dulu?”

“Yeah. Aku suntuk Mbak, tiap malam ngabisin duit cuma buat party gak jelas. Geng basket yang biasanya asik sekarang jadi basi, aku males kumpul sama mereka lagi.” Tukas Arta dengan suara rendah.

By the way, Mama Papa kemana? Kok rumah sepi banget sih?” Ayu memilih untuk menyudahi topik yang nampaknya sensitif untuk Arta dan menggantinya dengan pembicaraan yang lebih santai.

Arta mengangkat bahu. “Aku juga gak tau. Tadi aku pulang dari kampus, rumah udah sepi. Kata Mbok Sum sih Mama Papa ada acara di Marriott, gak tau deh acara apa.”

Seperti biasa rumah memang selalu sepi. Papa sibuk mengurus bisnis dan Mama senantiasa harus ikut dalam berbagai pertemuan bisnis Papa yang mengharuskannya untuk turut hadir. Yudha menghabiskan lebih dari setengah harinya di Abjad, mengurus bisnisnya yang sedang berkembang itu sampai lupa diri –dan lupa untuk pulang ke rumah. Ayu si penulis sukses gak kalah sibuknya dengan yang lain, aneka macam meeting, talk show atau interview begitu menguras waktu gadis berpenampilan chic ini. Arta tidak jauh berbeda, selain sibuk di kampus, si bungsu ini selalu menghabiskan waktunya di club, berkumpul dengan teman-temannya dan menghabiskan malam di sana.

Tapi malam ini tidak begitu

Rutinitas party yang membuatnya suntuk serta masalah internal dengan salah satu teman di geng basket-nya membuat Arta jadi malas ke luar rumah dan lebih memilih untuk duduk santai di living room. Arta butuh suasana baru, hingar bingar pesta dirasa sudah cukup dan ia pun malas berada di antara teman-teman pestanya yang hampir semuanya palsu dan tidak tulus berteman dengannya. Mungkin gue emang harus absen ke club dulu.

“Mbak capek gak?”

“Eh? Emangnya kenapa?” Ayu balik bertanya

Arta tersenyum tipis seraya menyambar kunci mobilnya yang ada di atas meja. “Temenin aku beli monopoli yuk! Trus nanti kita main bareng.”

“Hah? Monopoli? Permainan monopoli yang itu? Yang ada negara-negara, kesempatan, dana umum? Yang itu?” Ayu masih gak mengerti

“Yup! Udah yuk buruan, kita beli monopoli sekarang.” Arta menarik tangan Ayu gak sabar, membuahkan teriakan kencang karena Ayu kesakitan dengan tarikan paksa Arta

Arta gak peduli. Ia tersenyum sumringah. Puas karena malam ini ia punya agenda yang lebih seru dari sekedar party di club.

Bermain monopoli dengan Ayu

***

Dua

Hari ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Cacha masih harus bangun pagi, beres-beres rumah, bantu Ibu masak untuk sarapan dan ikut repot membantu menyiapkan peralatan sekolah untuk Adit, adiknya yang baru duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar.

Setelah lewat dari jam 7 pagi, dimana Adit telah berangkat ke sekolah, Cacha juga harus melaksanakan tugas hariannya, menyapu dan mengepel seisi rumah, dilanjutkan dengan mencuci pakaian. Baru setelah semua tugasnya tersebut selesai Cacha bisa mandi dengan tenang, sarapan sambil nonton televisi dan berangkat kerja.

Hari yang melelahkan dan membosankan

Tapi Cacha berusaha menikmatinya dan mengusir kejenuhan yang kerap kali datang.

“Cha, nanti kalo sempat tolong beliin susu buat Adit di Supermarket.” Ibu datang dari dapur dan duduk di sebelah Cacha yang sedang sarapan sambil nonton berita pagi. “Kamu masih punya uang kan? Pake uang kamu dulu ya, Ibu belum dikasih jatah ama Bapak.”

Cacha mengangguk. Matanya sibuk memperhatikan berita tentang tertangkapnya anggota DPR karena kasus korupsi, tangan dan mulutnya sibuk menyantap sarapan paginya yang hari ini menu-nya nasi + cah kangkung + tahu tempe.

“Kamu masih marah sama Bapak?”

“Aku gak marah sama siapa-siapa.” Cacha menjawab sekenanya, malas. Berita di teve + sarapan paginya jauh lebih menarik dibandingkan dengan perbincangannya dengan Ibu

“Ibu tau kamu masih marah sama Bapak karena nggak dikasih izin kuliah Sastra.” Suara Ibu terdengar lemah.

Cacha mengalihkan pandangan ke arah Ibu. “Kenapa kita jadi ngomongin ini lagi Bu? Aku udah lupa dengan rencana kuliah, aku udah lupa ama cita-citaku jadi sarjana sastra, aku udah lupa Bu. Gak usah diomongin lagi.”

“Harusnya kamu dengar kata-kata Bapak dan kuliah di jurusan lain.”

Cacha menggeram, tidak suka. “Maksud Ibu kuliah di jurusan Kedokteran? Jadi dokter seperti yang Bapak suruh?” nafsu makan Cacha hilang seketika, “Aku jelas gak akan ngikutin kemauan Bapak. Gak akan.”

Ibu menghela nafas. “Dokter bukan profesi buruk Cha, itu pekerjaan yang mulia.”

“Jadi dokter bukan cita-cita aku. Mulia? Maksud Ibu bisa menghasilkan uang banyak dan menaikkan derajat keluarga? Menjadi lebih mulia yang kayak gitu?” emosi Cacha mulai tersulut

“Kalau memang bisa begitu kenapa engga? Ibu yakin kamu bisa jadi dokter hebat.”

Cacha mematikan teve dan cepat bangkit dari duduknya. “Aku gak akan pernah jadi dokter.” Setelah menaruh piring kotor di dapur, Cacha cepat menyambar tasnya dan berpamitan. “Aku berangkat Bu. Assalammualaikum.”

Dokter? Jangan harap aku akan jadi dokter!

Melihat Cacha menjadi dokter adalah keinginan Bapak. Sayangnya keiginan Cacha tidak seperti itu. Setelah lulus dari SMA, Cacha berniat melanjutkan studi ke jurusan Sastra, mengejar impiannya menjadi penulis dan menelurusi jejak Sastra Indonesia dengan lebih menyeluruh. Niatan Cacha itu tidak pernah terlaksana karena Bapak tidak menyetujui

Bapak tidak menyetujui keinginan Cacha kuliah sastra. Ia cuma mau Cacha menjadi dokter. Titik. Tidak ada tawar menawar. Cacha yang tadinya sudah mendapatkan kursi di Sastra Indonesia UI melalui jalur SPMB terpaksa harus merelakan kesempatannya itu terhempas begitu saja karena Bapak tidak setuju dan mengancam tidak akan memberikan biaya kalau Cacha nekat kuliah di sana.

Kejadian setahun lalu itu masih lekat terbayang di ingatan Cacha

Cacha gak akan pernah lupa bagaimana sedihnya ia karena cita-citanya terhempas begitu saja, terbuang percuma karena egoisme Bapak yang membuatnya terpenjara. Cacha terpuruk, sedih dan tidak percaya Bapak bisa setega itu membiarkan anaknya menangis berhari-hari karena gagal kuliah –lebih tepatnya tidak boleh kuliah- di jurusan yang sangat diidamkannya.

Berangkat dari rasa sakit hati dan kepedihan yang mendalam, Cacha memilih untuk tidak kuliah. Ia rela cita-citanya terenggut, tapi konsekuensinya ia tidak akan pernah kuliah kedokteran seperti permintaan Bapak. Cacha memilih untuk bekerja. Beruntung sekali surat lamarannya di Abjad Book Stores diterima dan ia pun berhasil menjadi pegawai di toko buku tersebut dengan proses yang tidak begitu sulit.

Gagal kuliah sastra bukan berarti Cacha menjauhi dunia sastra.

Di Abjad, Cacha malah menjadi semakin dekat dengan sastra. Di tempat kerjanya itu Cacha diberi kesempatan untuk membaca karya sastra tiap bulannya dan menuliskan reviewnya di papan pengumuman Abjad. Dan Cacha sudah cukup puas dengan pekerjaannya ini. Ia cukup bahagia dengan apa yang kini bisa diraihnya, mendapat novel sastra gratis tiap bulannya + uang saku yang cukup

Cacha menikmati perjalanannya ke Abjad dalam diam, seperti biasa. Fikirannya menerawang ke mana-mana, matanya menatap bebas ke sekeliling dan memperhatikan keadaan. Cacha begitu menikmati kegiatan itu, baginya memperhatikan orang lain dan menebak-nebak seperti apa kehidupan orang itu adalah kegiatan yang mengasikkan, yang membuatnya merasa memiliki sebuah hiburan.

Tidak sampai setengah jam bus yang mengangkut Cacha telah sampai tepat di depan Abjad. Cacha bergegas turun dan berjalan santai melewati taman kecil yang asri di depan Abjad. Di taman kecil ini Cacha berhenti sejenak, menghirup kedamaian dan berusaha membangun mood baiknya di hari ini.

Cacha memejamkan mata, mengambil nafas dan mengeluarkannya perlahan

BRUKK!

“Aaaaaah!” dengan sukses Cacha terjatuh ketika tiba-tiba ada dorongan kencang dari arah belakang. Cacha jatuh terduduk dalam posisi yang sangat tidak cantik, siku tangannya terluka, mengeluarkan darah. “Aduuuuuuuuuuuh.” Cacha berteriak kencang ketika menyadari tubuhnya tertindih sesuatu –sesuatu yang berat

“Maaf-maaf, elo gak papa?” sebuah suara berat dan penuh rasa khawatir mengagetkan Cacha yang sibuk menahan sakit, suara ini terdengar seiring dengan hilangnya beban yang menindih tubuh Cacha.

Cacha cepat-cepat bangun, menahan malu dan sakitnya. Di hadapanya berdiri sosok ganteng –banget- yang terlihat menawan dengan penampilan casualnya. Cowok ini menatap Cacha dengan pandangan teduhnya yang sarat perhatian. “Lo ngapain nabrak gue? Jalan segede ini kenapa mesti lari-larian segala sih?”

Cowok ganteng ini garuk-garuk kepala. Heran kenapa cewek yang ditolongnya ini karena hampir tertabrak motor yang melaju brutal melewati taman kecil di depan Abjad malah menyapanya dengan kalimat yang sama sekali tidak terdengar manis. “Kok lo malah marah? Gue tadi sengaja nolong elo supaya lo gak ketabrak motor.”

“Motor? Serius lo?”

“Ya! Serius banget. Lo ngapain sih berdiri di tengah taman ini? Kan bahaya.”

Kan bahaya. Cacha sukses terbuai mendengar perkataan cowok ini. Apalagi ia melisankannya dengan suara rendah yang terdengar sangat lembut

“Lo gak papa kan? Luka lo gimana? Sakit?”

Cacha mengangguk sambil meringis. “Gak papa kok, gue bisa sendiri.”

Cowok ini mengangguk seraya tersenyum ramah, kemudian ia mengulurkan tangan, bermaksud mengajak Cacha kenalan.

Ragu-ragu Cacha membalas uluran tangan cowok ini dan ia begitu terkejut saat si ganteng di hadapannya ini menyebutkan sebuah nama. “Sidharta Arlingga, panggil aja Arta.”

“Cacha.”

Senyum Arta makin lebar, kini matanya beralih ke t-shirt yang dikenakan Cacha. Sebuah t-shirt yang sangat familiar di matanya. “Kerja di Abjad ya?”

Cacha mengangguk

“Bareng yuk! Gue juga mau ke sana, lo bisa jalan sendiri? Atau perlu gue papah?”

Tadinya Cacha berniat untuk jalan sendiri tanpa perlu dibantu Arta, tapi ternyata ia tidak bisa. Kakinya terasa sakit, mungkin terkilir. Dan jadilah ia dipapah Arta, memasuki Abjad dengan diiringi tatapan tidak percaya dari pegawai Abjad yang lain, terutama Maya

***

“Saaaaaay ada angin apa tiba-tiba elo masuk kantor berdua ama si super duper ganteng itu?” Maya berdiri di depan Cacha dengan muka penuh rasa penasaran, ia siap menginterogasi Cacha layaknya wartawan infotainment mewawancarai selebritis

Di dalam ruang ganti Abjad dimana di dalamnya hanya ada Maya dan Cacha, Cacha duduk di kursi kayu dengan sandaran kepala berwarna putih sambil meringis, menahan perih lukanya. “Aduh May ini semua beneran gak sengaja. Kebetulan aja gue ketemu Arta di depan dan dia nolongin gue karena tadi gue hampir ditabrak motor.”

“Arta nolong elo?”

Cacha mengangguk masih dengan tangan kanan yang sibuk membersihkan siku kirinya yang terluka.

Oh My God, dia baik bangeeeet ya. Memang layak banget deh jadi prince charming.”

“Terserah elo deh May.”

Maya duduk di depan Cacha. “Pasti Ririn dan Nesya bakalan bikin gosip baru begitu liat elo datang ke Abjad berdua dengan Arta. Pasti.”

Cacha tertawa. “Gue jadi berasa artis, digosipin mulu.”

Maya menjitak kepala Cacha. “Btw menurut lo Arta gimana? Ganteng kan? Selera gue kali ini gak salah kan?”

Ganteng? Mungkin Arta lebih cocok disebut menarik. Keseluruhan profil cowok ini memang sangat menarik dan jujur tadi Cacha sempat terpesona dan speechless mendapati sosok ganteng Arta yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.

Dan mata teduh Arta membuat Cacha merasa nyaman.

Cacha gak tau kenapa tiba-tiba ia merasa seperti itu, tapi dari sorot teduh mata Arta yang penuh perhatian, Cacha tau Arta adalah pria baik-baik dan –entah dari mana datangnya- Cacha merasa bisa bersandar pada Arta

What? Duuuuh mimpi gue ketinggian banget sih!

***

“Pagi Mas.”

Arta memasuki manager room Abjad dengan santainya, dilihatnya Yudha sedang duduk di kursi kebesarannya dengan wajah yang terfokus pada laya notebook, entah sedang mempelajari apa.

“Pagi Ar, kamu dari mana aja? Kok jam segini baru datang?” Yudha bertanya basa-basi tanpa mengalihkan pandangan dari notebooknya

Arta melirik jam tangannya, 09.48. Bahkan jam operasional toko belum dimulai. “Aku tadi mengantar Mbak Ayu dulu ke Senayan. Kenapa? Aku telat?”

“Engga, tapi akan lebih baik kalau besok kamu datang lebih pagi dan merapikan ruangan kerja kamu yang masih berantakan.”

“Aku bisa beresin hari ini, kebetulan hari ini aku gak ada kelas di kampus.”

“Good. Kamu bisa minta tolong Cacha atau Davina untuk membantu, setau saya mereka sangat pintar dalam menata ruangan.”

Cacha?“Mungkin nanti aku akan minta bantuan Cacha, kebetulan tadi udah sempat kenalan.” Tukas Arta sambil mengulum senyum

Yudha mengangguk. “Baguslah, nanti kamu atur aja sendiri. Saya sedang sibuk mengurus pembukaan cabang Abjad di Kelapa Gading.” Yudha meneguk segelas air mineral yang diletakkan di samping notebooknya, kemudian ia menatap Arta. “Tadi pagi saya sudah lihat hasil design yang kamu kirim ke e-mail, good, saya suka gaya kamu dan pewarnaannya juga sangat bagus. Saya minta kamu buat design yang lebih bagus dari itu dan bisa menampilkan citra Abjad yang colorfull.”

Arta tersenyum puas, meski ia bekerja di kantor milik kakak kandungnya sendiri, ia tetap memiliki kewajiban untuk memberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya, dan Arta bersyukur ia dapat melaksanakannya. “Sip Mas. Aku pasti usahakan.”

“Okey. Saya tau kamu pasti bisa.”

“Mas, aku bisa minta tolong?” Arta bertanya ragu-ragu

“Apa?”

“Seminggu ini bisa gak tugas Cacha cuma untuk bantu aku aja? Aku benar-benar butuh bantuan orang untuk merapikan ruangan kerjaku sekaligus membantu menempelkan wallpaper yang kemarin Mas Yudha minta.”

Yudha menatap Arta dengan serius, setelah menimbang sejenak ia pun menganggukkan kepala. “Nanti saya minta Angel untuk mengatur jadwalnya.”

Arta tersenyum sumringah

***

Tiga

“Pak Arta manggil saya?”

Arta yang sedang sibuk mendorong meja yang akan digunakan sebagai meja kerjanya menoleh ke arah datangnya suara, ke sosok manis Cacha yang berdiri tepat di samping pintu. “Hei. Akhirnya kamu datang juga.”

Cacha tersenyum rikuh, jelas sekali ia bingung dan kikuk harus bersikap bagaimana, apalagi mengingat kejadian pagi tadi dimana jelas-jelas cowok ganteng di depannya ini sempat menindih badannya. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Sangat. Aku sangat perlu bantuan kamu untuk merapikan ruangan ini. Kata Mas Yudha, kamu salah satu dari sedikit pegawai Abjad yang pintar mengatur dekorasi.” Arta meninggalkan meja yang tadi di dorongnya kemudian berjalan menghampiri Cacha. “Lukanya gimana? Udah dibersihkan? Udah diobati?” dengan kasual Arta menyentuh siku Cacha, membuat gadis ini sontak menahan nafas karena terkejut

“Udah gak papa kok.”

Arta mengangguk seraya tersenyum. “Good. Kalo begitu bisa kita mulai pekerjaan hari ini?”

“Okey. Mau mulai dari mana?” Cacha lekas mengubah posisi dan mendekati tumpukan wallpaper serta beberapa botol cat di pojok ruangan.

“Kita mulai dengan mengobrol.”

“Hah? Ngobrol?”

Arta duduk di sofa one seater berwarna khaki di sisi sebelah kiri ruangannya dan meminta Cacha untuk duduk tak jauh darinya. Ragu-ragu Cacha mendekat, masih dengan bingung yang menyelimuti. “Bukannya kita mau beres-beres ya? Kok malah ngobrol?”

“Beres-beres itu gampang. Aku kan perlu mengenal teman kerjaku dulu supaya bisa bekerja sama dengan baik.”

“Pak Arta bisa baca CV saya, semua data saya ada di sana.” Cacha membalas dingin, bingung dan gugup membuatnya gak bisa bersikap manis –atau sekedar sopan- pada atasannya ini.

“Aku gak perlu baca CV kamu. Team work yang baik dibangun dari komunikasi yang baik. Apa gunanya aku baca CV kamu kalo pada akhirnya kita gak bisa membangun komunikasi yang baik?”

Cacha menatap Arta. “Jadi Pak Arta mau interview saya?”

“Bukan interview Cha, cuma ngobrol-ngobrol santai biasa kok.” Arta tertawa, berusaha rileks dan meruntuhkan suasana kaku yang terbangun sejak tadi. “Kamu bisa panggil saya Arta. Gak usah pake Bapak segala.”

“Oke. Lalu kita mau ngobrolin apa?” merasa waktu terus berjalan dan pembicaraan ini menjadi meaningless, Cacha memberanikan diri untuk bertanya, memulai percakapan.

Arta tampak berfikir sejenak, sejujurnya ia juga bingung mau mengangkat topik apa yang enak untuk dibicarakan. Dan sejujurnya acara ngobrol-ngobrol ini adalah ide usilnya untuk bisa mengenal Cacha, untuk bisa mendapatkan seorang teman yang sekiranya bisa membantunya selama ia magang di Abjad.

“Kamu udah lama kerja di sini?”

“Setahun lebih.”

Mampus! Gue mau nanya apalagi nih? Setan! Inspirasi datanglah! Arta makin bingung. “Oh ya, aku perlu pendapat kamu tentang design ikon untuk Abjad.” Arta bangkit dari sofa, mengambil laptop dari tasnya dan meletakkannya di meja kecil di dekat Cacha. “Menurut kamu gimana?”

Di layar laptop Arta terpampang sebuah ikon cowok dengan kepala botak dan kaca mata tebal yang menjadi ciri khas kasta nerd sedang membawa setumpuk buku dan tersenyum lepas. Di bagian bawah terdapat pita merah dengan huruf A.B.J.A.D berwarna putih dalam huruf besar

“Ini untuk apa?”

“Untuk ikon Abjad. Jadi bulan depan si Botak ini akan menghiasi Abjad dan membawa misi baru supaya Abjad terlihat lebih fresh.”

“Fresh? Dengan ikon seperti ini? Serius?”

Arta mengerutkan kening, merasa tersindir. “Memangnya kenapa? Gak cocok? Kurang bagus? Kurang apa? Tell me.” Arta memang belum meminta pendapat siapapun tentang desain ikon Abjad yang baru dibuatnya tadi malam ini, kemarin ia sibuk menyelesaikan desain untuk wallpaper dan ia bersyukur sekali Mas Yudha menyukainya dan kali ini Arta sangat berharap kakaknya itu dapat menyukai desain ikon yang dibuatnya

“Ikon ini terlihat sangat melecehkan.”

Satu kalimat singkat Cacha sukses membuat Arta terkejut -sangat terkejut. “Maksud kamu?”

“Saya gak pernah suka dengan image nerd seperti ini, buat saya itu pelecehan untuk orang-orang pintar, atau orang yang senang membaca. Tidak semua kutu buku harus digambarkan dalam bentuk aneh ini, dengan kaca mata besar dan muka dungu. Harusnya untuk ikon Abjad, Pak Arta bisa membuat image yang lebih berkelas dan tidak tipikal seperti yang sering kita lihat dimana-mana, kesan buruk bahwa kutu buku atau orang pintar harus ditonjolkan dengan kaca mata super besar itu harus dihilangkan.”

“Jadi menurut kamu saya harus buat ikon yang seperti apa?”

Cacha mengangkat bahu. “Saya kurang tau. Mungkin Pak Arta bisa coba dengan membuat desain yang bisa menunjukkan bahwa kutu buku itu bukan kaum nerd dengan tampilan yang kuno seperti ini, mungkin dengan membuat tampilan baru yang lebih terlihat gaya.”

“Begitu?”

Cacha mengangguk. “Mungkin itu bisa membantu.”

“Terimakasih banyak Cha, itu sangat membantu.” Arta tersenyum puas, lega karena ia berhasil mendapat masukan yang sangat baik dari teman barunya ini.

Cacha ikut tersenyum, senang karena Arta bisa menerima usulannya. “Sama-sama Pak. Saya juga senang bisa membantu.”

“Oh please jangan panggil saya Bapak! Umur saya baru 21!” Arta berseru tidak suka seraya tertawa

“Maaf Pak –eh maksud saya Arta.” Cacha membalas kikuk, ragu-ragu

“Itu baru pas. Arta. Gak usah pake Pak.” Arta membereskan laptopnya dan membuat catatan di otak untuk segera merevisi ikon Abjad ini dalam versi baru seperti yang disarankan Cacha.

Arta melirik Cacha, memperhatikan figur gadis ini yang masih duduk di sofa dengan wajah cantiknya yang terlihat sendu, seperti menyimpan luka yang mendalam. Melihat itu Arta menjadi bertanya-tanya dan ia pun seolah perlu melangkah lebih jauh lagi untuk lebih mengenal Cacha lebih dalam dan mencari tau penyebab luka di mata cantiknya yang indah.

“Kenapa?” Cacha bertanya begitu menyadari Arta yang menatapnya fokus, seakan menelanjangi dirinya.

“EH?” Arta langsung memasang wajah sok cool, berpura-pura tidak terkejut. “Ayo kita mulai kerja bakti. Pasti bakalan capek banget nih. Kamu siap lembur kan?”

“Lembur? Lagi? Semalam saya baru lembur! Masa’ hari ini lembur lagi?”

Arta tersenyum jahil. “Ayolaaaaah, nanti aku bilang ke Mas Yudha untuk menambah bonus untuk kamu. Gimana?”

“Bukan masalah uang Ar. Tapi badan saya bisa remuk kalo tiap hari lembur terus.”

“Gini deh, aku janji nanti kalo kerjaan ini udah beres aku akan ajak kamu refreshing, jalan-jalan kemana kek. Gimana?”

Cacha mengangkat bahu sambil mengalihkan pandangan, ia gak tahan terus-menerus menatap mata Arta yang dengan intens mengarah ke arahnya.

Ar, tolong temani Ibu belanja ke Carefour, tadi Ibu telfon saya dan marah-marah karena sa----,” Yudha tidak sempat menyelesaikan kalimatnya begitu menyadari sosok Cacha yang tengah duduk manis di sofa dan tengah menatapnya dengan sopan. “Eh Raisya, apa kabar?”

Cacha bangkit dari duduknya dan tersenyum tipis pada bossnya ini. “Baik Pak.” Menyadari Arta dan Yudha perlu ruang untuk berbicara berdua Cacha bergegas mohon diri. “Saya permisi ke toilet sebentar Pak. Permisi.”

“Huahahahahahaha.” Arta gak bisa menahan tawa melihat muka Yudha yang tadi mendadak berubah warna begitu melihat ada Cacha yang mendengar omongannya. “Mas Yudha ada-ada aja sih! Makanya kalo mau masuk ketok pintu dulu huahahahahaha.”

“Shut up!” balas Yudha dingin

Arta menepuk bahu kakaknya ini sekali, bermaksud menyuruh Abangnya ini untuk tidak terlalu serius. “Mas Yudh tadi ngomong apa? Carrefour? Belanja?”

“Yeah-yeah, tadi Ibu menelfon dan meminta saya untuk menemaninya belanja bulanan di Carrefour. Saya gak bisa Ar, jadwal saya hari ini padat banget dan gak bisa diatur ulang.”

“So?”

Yudha mendengus jengkel melihat gaya slengean khas Arta. “Saya minta kamu menggantikan saya dan menemani Ibu belanja.”

“Loh? Kok aku?! Bulan lalu kan udah giliran aku Mas, sekarang gantian jatahnya Mas Yudha doong.”

“Tadi udah saya bilang, jadwal saya hari ini padat banget. Saya gak bisa gitu aja ninggalin pekerjaan saya cuma untuk menemani Ibu belanja bulanan.” Suara Yudha terdengar sangat serius, dalam dan penuh dominasi.

Arta berdecak tidak suka. “Gak bisa gitu dong Mas. Kan udah ada perjanjian kalo aku, Mas Yudha dan Mbak Ayu harus menemani Ibu belanja tiap bulan secara bergantian dan bulan ini giliran Mas Yudha, jadi laksanakanlah tugasmu itu. Lagipula aku kan harus membereskan ruangan ini dan menyelesaikan desain ikon untuk Abjad.”

“Itu urusan belakangan, yang terpenting sekarang kamu gantikan saya. Kalau tidak, saya gak akan mengizinkan Cacha untuk membantu pekerjaan kamu ini.” Yudha tersenyum iblis, puas karena lagi-lagi dominasinya selalu lebih kuat dari si bungsu tengil yang kadang sok tua ini.

Arta manyun dan menatap Yudha tidak suka. “Huh! Okey-okey tapi ada syaratnya?”

“What?”

“Aku minta uang untuk beli Baskin, Starbucks, J-Co dan Pizza Hut.”

Yudha geleng-geleng kepala sambil mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan 100 ribu untuk Arta. “Dasar perut gembul! Kamu bisa mati muda kalo tiap hari jajan gak sehat seperti itu.Sesekali kamu harus coba jajahan sehat, makanan organik seperti yang saya makan.”

“Duh bawel!”

***

Label: ,


|